Gambar

Penerimaan Mahasiswa Baru 2016/2017

SEPANDUK MURID BARU USI  2016

Foto Agrotek Terbaru

PROGRAM STUDI  AGROTEKNOLOGI  – FP-USI

VISI

Menjadi salah satu program studi yang memiliki daya saing menghasilkan lulusan berkualitas dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian berkelanjutan 

MISI

  1. Melaksanakan pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang handal dibidang pengetahuan dan teknologi pertanian berkelanjutan.
  2. Meningkatkan kemampuan mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian dan penyebarluasannya selaras kebutuhan masyarakat melalui pengabdian.
  3. Mengembangkan kerja sama dan pembentukan jejaring dalam lingkup instansi terkait dan masyarakat luas.

 TUJUANagrotek-1 agrotek-2 agrotek-3 agrotek-4

  1. Menghasilkan lulusan yang mampu mengaplikasikan konsep ilmiah dan teknologi pertanian berkelanjutan.
  2. Pengembangan kemampuan kreativitas dan inovasi dalam pemanfaatan IPTEK untuk mendukung revitalisasi sektor pertanian
  3. Mengembangkan  program pendidikan, penelitian dan pengabdian guna meningkatkan kinerja pertanian melalui kerjasama dalam lingkup instansi terkait dan masyarakat luas.

Gambar Baru

praktek-3praktek1praktek-2pertanian-gbrgambar 3-rgambar 5-r

Tugas Tambahan

Supervisi Bimbingan Skripsi Kelapangan

Oleh Tuty DS Matondang

Kegiatan Tuty DS Matondang di Kampus Fakultas Pertanian USI an :

Mahasiswa semestar I Fakultas Pertanian USI lagi melakukan praktikum kimiasar di Laboratorium Ilmu Dasar Universitas Simalungun.

 

Dosen pembimbing bapak Ringkop dan Ibu Tuty Matondang, ibu Meriaty, lagi supervisi lapangan untuk mengecek pertumbuhan dan hasil produksi tanaman mentimun hasil penelitian mahasiswa.

Ir. Meriati, M.Si lagi asyik panen mentimun hasil penelitian mahasiswa pertanian USI

 

Opini

BELAJAR HIDUP KE ARAH YANG LEBIH BAIK

Oleh  TUTY DWI SRIATY . M

Pada saat ini kita sering mendengar berita dukacita dan dalam setiap acara pelepasan selalu dibacakan tentang bografinya ,demikian juga ilmuwan Alferd Nobel ketika melihat kabar duka cita disebuah koran beliau bergeming karena koran tersebut menulis beliau seorang ilmuwan yang kaya raya ,sekaligus penemu senjata nuklir yang mematikan .

Marahkah ia atas pemberitaan itu ? Ternyata tidak. Nobel malah berterima kasih karena dengan tulisan tersebut dirinya mendapat pencerahan. Selama ini ia sangat risau dengan pandangan masyarakat bila suatu hari nanti dirinya telah meninggal dunia. Pasalnya Nobel begitu khawatir bila masyarakat mengenalnya sebagai penemu senjata yang mematikan . Padahal ,penemuannya itu bukan ditujukan untuk menjadi alat pemusnah massal. Ia justeru bercita-cita mulia karena ingin memajukan ilmu pengetahuan, khususnya tehnologie. Alhasil, Alfred pun kemudian mendonasikan hampir seluruh kekayaannya untuk ilmu pengetahuan dan sosial dengan memberikan hadiah yang dikemudian hari dikenal sebagai Hadiah Nobel. Dari kisah ini kita setidaknya bisa mengambil hikmah bahwa apapun pandangan orang lain terhadap apa yang kita perbuat adalah hasil dari benih yang kita tanam. Kalau kebaikan yang kita tanam ,hasil yang dipetik juga adalah kebaikan. Dengan prinsip itu pula, Nobel telah mampu mengubah image yang lebih baik tentang dirinya sendiri. Nah, akankah kita secara pribadi mampu melakukan apa yang sudah dilakukan Nobel? Insya Allah, karena dimana ada kemauan disitu ada jalan. Sebagaimana Allah swt juga berfirman  “Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk ,mereka tidak mau menempuhnya ,tapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat  Kami dan mereka selalu lalai daripadanya “(QS. Al-A’raaf 146 ).                                                                                                                  Mengingat firman Allah ini, agar kita tidak menempuh jalan yang sesat dan lalai, kita harus selalu berusaha untuk tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah itu tapi justru sebaliknya. Kita berharap untuk selalu dapat memetik kebaikan yang kita tanam agar kesuksesan bisa diraih – khususnya dalam dunia kerja lewat image baru yang lebih baik. Bagaimana caranya? Ada beberapa tips sederhana yang insya Allah, bisa menjadi jembatan dalam mengubah hidup kearah yang lebih baik ( positif ) sebagai salah satu upaya menuju sukses kerja seperti yang diharapkan.

1. JADILAH HUMAS YANG BAIK UNTUK DIRI SENDIRI

Untuk itu, berpikir dan bersikap positiflah terhadap diri sendiri.  Cobalah   untuk mempromosikan bahwa diri kita berharga dan pantas bagi suatu       pekerjaan. Jangan ragu untuk memberitahukan kemampuan dan prestasi kepada teman atau atasan,sepanjang tidak ada maksud untuk sombong.

2. TUNJUKKAN DENGAN ANTUSIAS

Tunjukkan kepada atasan bahwa anda antusias dan mencintai pekerjaan yang diberikan kepada anda. Dengan mencintai pekerjaan ,hal itu akan dirasakan pimpinan dan rekan kerja anda. Tunjukkan bahwa anda adalah orang yang menyenangkan

3. BUANG HAL YANG BURUK

Tak ada orang yang selalu putih, dan tak ada orang yang selamanya berhasil. Demikian juga dengan kita.  Bila pada masa lalu kita pernah melakukan kesalahan atau beroleh prestasi buruk, ubahlah mulai hari ini. Gantikan dengan prestasi dan rekor baru yang lebih baik.

4. HIASI DIRI DENGAN HAL YANG BAIK

Beri kesan bahwa kita telah berubah menjadi lebih baik.Biarkan orang memandang kita yang dulu pemalas kini menjadi orang yang rajin. Kita yang pasif kini menjadi orang yang aktif dan menyenangkan. Semua itu untuk kebaikan kita. Allah swt berfirman “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri

5 . RINGAN TANGAN UNTUK KEBAIKAN

Allah akan menolong kita yang suka memberi pertolongan kepada orang   yang membutuhkan. Jadilah penolong bagi orang lain. Pedulilah terhadap pekerjaan rekan anda yang mengalami kesulitan. Coba lihatlah disekitar kita, betapa sulitnya kita menemukan orang yang peduli dan mencari sang penolong.  Mari kita menjadi pelopor untuk kebaikan

6.  LAMPAUI KETERBATASAN ANDA

Setiap orang memilki kekurangan dan keterbatasan tapi hal itu bukanlah masalah. Yang menjadi masalah, mampukah kita melampaui segala keterbatasan menjadi kekuatan? Siapa yang menyangka motivator dunia, John Foppe, adalah orang tak berlengan yang pernah mengalami hari-hari berat menjalani hidup. Namun, ia lalu mampu bangkit melampaui keterbatasan. Ia mampu mandiri,  menyetir, bersekolah, kuliah hingga menjadi seorang motivator yang sukses.

7. KEMBANGKAN INSTING POSITIF

Betapapun sulitnya rintangan dalam pekerjaan dan kehidupan, dengan kekuatan dan insting positif, insya Allah, kita akan berhasil melampauinya. Mulailah dari kata-kata yang positif, dan diikuti perilaku positif. Itu  harus sudah dimulai sejak kita bangun tidur pagi hari. Alhamdulillah, Allah telah menganugerahi kita pagi yang indah agar kita selalu optimis sejak mentari pagi bersinar. Dengan begitu hari itu akan menjadi keberuntungan, kebahagian dan kesuksesan tersendiri. Insting positif itu  haruslah terus dihidupkan dalam hati, dan dipertahankan keberadaannya agar menjadi bagian yang utuh dari diri kita.

8. JADIKAN HARI INI LEBIH BAIK

Jadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin dan jadikan hari esok lebih baik dari hari ini, sebagai “mantra “ampuh penggugah semangat. Demikian pula jadikan pekerjaan kita hari ini lebih baik dari hari kemarin, minggu lalu, bulan lalu dan tahun lalu. Selalulah berusaha menjadi lebih baik dari hari kehari. Itulah misi sebenarnya kita dihadirkan dibumi.  Insya Allah ,dengan tips sederhana ini kita mampu membuat image baru sebagai manusia yang lebih baik, selayaknya kepompong yang bermetamorfosis menjadi kupu –kupu yang sangat indah. ======  S E M O G A ========

Ibukota Simalungun

Ibukota sudah Pindah, Selanjutnya Apa? 

Jef Rudiantho Saragih

Dosen Perencanaan Wilayah, Pascasarjana USI

jef

W

arga Simalungun, khususnya masyarakat Kecamatan Raya dapat merasa lega sejak dipindahkannya ibukota Kabupaten Simalungun ke Kecamatan Raya. Perpindahan itu terlaksana tahun 2008 ini setelah menempuh waktu yang relatif panjang sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 1999 tanggal 28 Juli 1999 tentang Perpindahan Ibukota Kabupaten Simalungun.

Pascaperpindahan tersebut sering kita mendengar kondisi dan keluhan dari berbagai pihak, utamanya para aparatur Pemkab.  Mulai dari minimnya kehadiran para abdi negara itu masuk kantor, kondisi jalan yang rusak, masih sangat minimnya aktivitas pendukung (semisal sarana air bersih, sarana transpor ke lokasi kantor, bahkan untuk sekedar tempat untuk makan siang, dan banyak lagi). 

Memang, memulai sesuatu yang baru jamaknya tidak serta-merta langsung klop.  Tetapi kalau tidak dimulai, kapanpun tidak akan klop.  Nah, bolehlah-(kah?) kondisi dan keluhan itu dipermaklumkan. Kalau “boleh”, sampai kapan?  Menurut hemat saya, untuk “sementara” ini, bolehlah dipermaklumkan.  Tapi secara bertahap, dan sebaiknya tidak berlama-lama, kondisi dan keluhan itu dapat diatasi. 

Urusan pasca perpindahan ini bukanlah sesuatu yang gampang.  Hal utama yang paling urgen saat ini adalah peningkatan kualitas jalan (Siantar-Raya) dan pengembangan lokasi permukiman PNS.  Saat ini, praktis seluruh aparatur Pemkab masih bersifat komuter.  Mungkin sekali, disamping faktor kendala yang lain, sifat komuter ini menyebabkan rendahnya kehadiran para PNS masuk kantor.    

Selanjutnya bagaimana? Secara teoritis dan empiris, dan kemudian diadopsi dalam PP 70/1999: tujuan utama perpindahan ibukota itu adalah (1) meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan, (2) menumbuhkan pusat-pusat (baru) perekonomian wilayah dengan tujuan pemerataan pembangunan dan keseimbangan pembangunan antarwilayah.  Singkatnya, perpindahan ibukota bukanlah “tujuan”, tetapi merupakan “alat” mencapai tujuan.  Memang sering terjadi, pun di kalangan kita sendiri, merasa puas hanya dengan memiliki “alat” tadi.  Lupa menggunakannya untuk mencapai tujuan.  Ahli perencana menyebutnya sebagai fenomena muddling through, lebih mengutamakan alat daripada tujuan. 

Sekaitan dengan tujuan perpindahan tersebut, maka hal mendesak yang perlu dilakukan pasca perpindahan tersebut adalah penyusunan beberapa dokumen perencanaan tata ruang.  Menurut informasi, saat ini sedang dibahas Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK). RTRWK ini ditindaklajuti dengan penataan ruang yang bersifat detail.  Penataan ruang yang bersifat detail ini dapat berupa penataan ruang kawasan tingkat kecamatan dan penataan ruang kawasan beberapa nagori/kelurahan (baca: lokasi ibukota), misalnya kawasan Nagori Sondiraya, Kelurahan Raya, dan Nagori Daligraya).    

RTRWK dan perencanaan detailnya menjadi strategis karena dokumen tersebut menjadi pedoman untuk berbagai aktivitas selanjutnya: (1) penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah, (2) pemanfataan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, (3) keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor, (4) penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, dan (5) penataan ruang kawasan strategis. 

Praktisnya, dokumen perencaaan ruang tersebut menjadi pedoman bagi SKPD untuk merancang program/proyek dan kebutuhan investasi berbagai sektor pembangunan.  Pada konteks ini, diperlukan keterpaduan.  Misalnya, katakanlah ada lokasi perumahan dan rumah bagi para PNS, tetapi kalau tidak didukung sarana pendidikan yang memadai secara bertahap; bisa saja mereka akan tetap jadi komuter. 

    Orang bisa saja berkata, dengan perpindahan ibukota ke Raya, cepat atau lambat, Kecamatan Raya dan hinterland-nya pasti berkembang.  Ungkapan tersebut benar adanya.  Namun ada dua persoalan yang bisa disikapi dari ungkapan tersebut.  Pertama,  soal waktu.  Perkembangan suatu pusat ekonomi dapat direncanakan dan dipercepat.  Ini menyangkut prioritas.  Secara logika, dan pasti kita sepakat, substansi program dan lokasi program dalam APBD akan mengalami perubahan signifikan dengan berpindahnya ibukota dari Pamatang Simalungun ke Kecamatan Raya. 

Kedua, soal arah perkembangannya.  Penggunaan ruang (baca: lahan) dapat terjadi dengan tiga mekanisme: (1) pengaturan penggunaan lahan oleh pemerintah, (2) mekanisme pasar, dan (3) kombinasi keduanya.  Untuk yang pertama:  (i) memerlukan pangkalan data dan informasi yang komprehensif dan akurat; (ii)  pemanfaatan ruang dapat lebih terkendali; (iii) berpotensi mengakomodir kepentingan masyarakat; dan (iv) membutuhkan biaya yang relatif besar. Untuk  yang kedua, (i) biaya formal relatif lebih kecil; (ii) berpotensi mengakibatkan misalokasi ruang (karena tidak mempertimbangkan eksternalitas), sehingga umumnya mekanisme pasar selalu mengalami kegagalan (market failure) mendistribusikan lahan untuk kemaslahatan orang banyak. 

Karena itu, kombinasi keduanya merupakan pilihan yang bijak dan menjadi strategi alokasi pemanfaatan lahan.  Karena kegagaan pasar tadi, pemerintah mengatur pemanfaatan lahan yang harus dipedomani, namun pada zona-zona tertentu dimungkinkan mekanisme pasar bekerja. Sayangnya, dua persoalan yang kerap muncul di republik ini.  Pertama, pengaturan penggunaan lahan tidak sepenuhnya didasarkan pada pangkalan data dan informasi yang komprehensif dan akurat.   Disamping itu, diperlukan kapasitas dan integritas tim (konsultan) penyusun dokumen itu.  Kedua, praktek seringkali tidak taat aturan.  Rencana tata ruang hanya sebagai dokumen.  Investasi industri, properti, infrastruktur jalan, dan sejenisnya tidak jarang menggilas lahan pertanian dan bahkan sawah beririgasi teknis.  Akhirnya, secara nasional, pemerintah dan berbagai pihak sibuk mempersoalkan dan mencatat luasan areal pertanian yang telah beralih fungsi ke non pertanian.  Bukankah penempatan suatu industri di lahan sawah, misalnya, telah melewati serangkaian proses perijinan?  Padahal, perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan apa yang ditempatkan, tetapi menempatkan apa yang telah digariskan.

Nah, mumpung ibukota itu belum mekar, mari kita saling urun rembug merencanakannya.  Upaya Bappeda sebagai perencana kabupaten yang mengundang peran serta para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pembahasan RTRWK perlu diapresiasi dan perlu ditingkatkan dalam perencanaan ruang detail.  Selanjutnya, dalam implementasi pemanfaatan ruang/lahan perlu konsistensi dan pengendalian yang memadai.

Sebagai catatan penutup, perencanaan pemanfaatan lahan dan implementasinya mensyaratkan peran serta masyarakat.  Oleh sebab itu, institusi perencana harus seaktif mungkin mengundang partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan proses perencanaan dan implementasinya.  Peran masyarakat di sini juga berimplikasi pada “kerelaan” untuk diatur dengan prinsip (minimal) Pareto Improvement: pengalokasian ruang memberi manfaat bagi sebagian, tetapi kondisi sebagian yang lain tidak menjadi lebih buruk.  Tujuan kita bersama adalah Pareto Optimal: pengalokasian ruang memberikan kondisi paling optimal bagi kesejahteraan masyarakat lokal.  Inilah teorinya.  Secara praksis, kita berupaya mencapai Pareto Optimal itu. Dan secara empiris, banyak pihak dan/atau aktivitas yang dapat mencapainya.  ***

AGROMADEAR

 

Core Business Agromadear dalam Agribisnis

 

jef-simalungun1Jef Rudiantho Saragih

Dosen Agribisnis, Universitas Simalungun

 

Dibentuknya PD Agromadear oleh Pemkab Simalungun sekitar setahun yang lalu merupakan sesuatu yang strategis bagi pengembangan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani di Kabupaten Simalungun.  Latar belakang pembentukannya, tentu, didasarkan pada berbagai permasalahan yang dihadapi di bidang pertanian dalam arti luas, atau permasalahan dalam pengembangan agribisnis.  Dengan kata lain, Agromadear dibentuk untuk menjawab dan mengatasi masalah-masalah tersebut. 

Masalah yang jamak kita dengar dalam pembangunan pertanian di Simalungun anatara lain: fluktuasi harga produk pertanian primer;  kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pasokan produk pertanian primer; ketersediaan dan harga input pertanian, kapasitas kelembagaan petani, minimnya litbang pertanian sebagai dasar perencanaan, dan banyak lagi.  Singkatnya, semua masalah itu adalah menjadi kendala dalam pengembangan agribisnis, yang juga selalu ditemukan pada aras nasional.

Sebelum mengusulkan masalah apa yang sebaiknya menjadi fokus dan prioritas Agromadear, saya ingin me-review konsep agribisnis yang menurut hemat saya dapat menjadi referensi untuk pengembangan agribisnis ke depan. 

Agribisnis diartikan sebagai “the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies, production activity on the farm, storage, processing and distribution of farm commodities and items for them” (Drillon Jr., 1971). 

Dari pengertian itu, agribisnis merupakan suatu sistem yang dibangun oleh empat subsitem: subsitem hulu agribisnisnis (penyedia dan distribusi input dan alat-alat dan mesin pertanian); subsistem usahatani (aktivitas yang mentrabsformasikan input pertanian menjadi produk pertanian primer); subsistem agribisnis hilir (pemasaran produk pertanian primer, pengolahan produk pertanian primer menjadi produk antara dan/atau produk akhir); dan subsistem penunjang agribisnis (kegiatan yang mendukung tiga subsistem lainnya: perbankan, litbang, kebijakan pemerintah, penyuluhan, konsultansi, tarnasportasi, asuransi, dan lain-lain).

Melihat konsep agribisnis tersebut dan merujuk pada masalah yang kerap dihadapi petani, dimana fokus atau inti kiprah Agromadear sebagai badan usaha milik (pemerintah) daerah?  Berbicara mengenai fokus, tentu kita langsung teringat tentang kondisi pemasaran berbagai komoditas pertanian primer di Kabupaten Simalungun.  Misalnya, harga kubis/kol sangat rendah dan tidakditerima di pasar internasional, jeruk tidak dipanen karena harga jual yang sangat minim, hilangnya sentra jahe karena (salah satunya) masalah pemasaran, dan banyak lagi yang lain. 

Menurut hemat saya, fokus pertama Agromadear adalah memfasilitasi pemasaran (menjual) komoditas pertanian primer yang dihasilkan petani.  Jadi, bergerak di subsistem hilir agribisnis.  Kendalanya, untuk berbagai komoditi, apa yang dihasilkan petani kerap tidak dapat dijual.  Jadinya, Agromadear juga harus memfasilitasi petani agar mampu menghasilkan produk yang diminta pasar.  Intinya, bukan menjual apa yang diproduksi; tetapi memproduksi apa yang bisa dijual (diminta pasar). 

Dengan begitu, kiprah Agromadear juga dapat masuk ke subsistem usahatani, tapi dalam konteks sebagai fasilitator.  Menurut hemat saya, sebaiknya Agromadear tidak bertindak sebagai “petani” dengan “menanam dan memungut hasil” usahatani. 

Agar petani dapat memproduksi apa yang diminta pasar, jaminan ketersediaan input mutlak diperlukan.  Selama ini, aspek ketersediaan dan harga input tak kunjung terselesaikan.  Apakah Agromadear juga masuk ke susbsitem hulu?  Ya, sebagai mediator! 

Fokus kedua, bisa bersifat sekuen atau paralel, Agromadear dapat mengambil peran dalam fungsi pengolah.  Fungsi ini dapat berupa memfasilitasi pengembangan PKS Mini, pengolah bubuk kopi, lateks, dan sejenisnya.  Di sentra-sentra produksi, fungsi pengolahan ini menjadi strategis untuk menahan nilai tambah produk di dalam wilayah Simalungun. 

Yang menjadi alternatif adalah: apakah Agromadear membangun sendiri industri pengolah tersebut atau mengundang investor masuk ke Simalungun?  Jika yang pertama, bisa “membebani” anggaran Pemkab.  Yang ideal sebenarnya adalah yang kedua.  Agromadear memfasilitasi penyusunan studi kelayakan suatu industri pengolah untuk ditawarkan kepada investor. 

Saya kira, visi pembentukan Agromadear bukanlah bisnis semata, tetapi mencakup pemberdayaan.  Dia sangatlah berbeda dengan badan usaha milik swasta.  Bagi usaha swasta, tujuannya memperoleh untung sebesar-besarnya.  Alatnya adalah petani, pemasaran, dan pengolahan.  Bagi BUMD visinya adalah bisnis dan pemberdayaan petani.   Tujuannya, membantu petani meningkatkan kesejahteraannya. Alatnya, pemasaran, pengolahan, mediasi, dan fasiltasi.   

Petani menunggu kiprah Agromadear.  Kopi “sigalar-utang”, jeruk raya, kakao dan karet di Sindarraya dan Nagori Dolog dan banyak lagi potensi Simalungun; menunggu sentuhan Agromadear.  Hemat saya, perkuat jajaran untuk memfasilitasi petani memproduksi apa yang diminta pasar.  Sebaiknya, tenaga petugas lapangan yang handal perlu ditingkatkan.  Selamat bekerja!

 

 

 

DAMPAK NEGATIF PENGGUNAAN PESTISIDA

w-girsang4  Warlinson Girsang

Staf Pengajar Kopertis Wilayah I

Dpk. Fak. Pertanian USI  P.Siantar

 

 

 ABSTRAK

 

Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama, berasal dari kata pest dan sida. Pest meliputi hama penyakit secara  luas, sedangkan sida berasal dari kata “caedo” yang berarti membunuh. Pada umumnya pestisida, terutama pestisida sintesis adalah biosida yang tidak saja bersifat racun terhadap jasad pengganggu sasaran. Tetapi juga dapat bersifat racun terhadap manusia dan jasad bukan  target  termasuk tanaman, ternak dan organisma berguna lainnya.

Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya  pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan pestisida, dapat dikelompokkan atas 3 bagian : (1). Pestisida berpengaruh negatip terhadap kesehatan manusia, (2). Pestisida berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan, dan (3). Pestisida meningkatkan perkembangan populasi jasad penganggu tanaman.

Kata Kunci : pestisida, dampak negatif, hama, resistens.

 

 Pendahuluan

 

Pestisida secara umum diartikan sebagai bahan kimia beracun yang digunakan untuk mengendalikan  jasad penganggu yang merugikan kepentingan manusia. Dalam sejarah peradaban manusia, pestisida telah cukup lama digunakan terutama dalam bidang kesehatan dan bidang pertanian. Di bidang kesehatan, pestisida merupakan sarana yang penting. Terutama digunakan dalam melindungi manusia dari gangguan secara langsung oleh jasad tertentu maupun tidak langsung oleh berbagai vektor penyakit menular. Berbagai serangga vektor yang menularkan penyakit berbahaya bagi manusia, telah berhasil dikendalikan dengan bantuan pestisida. Dan berkat pestisida, manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman berbagai penyakit berbahaya seperti penyakit malaria, demam berdarah, penyakit kaki gajah, tiphus dan lain-lain.

Di bidang pertanian, penggunaan pestisida juga telah dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan produksi. Dewasa ini pestisida merupakan sarana yang sangat diperlukan. Terutama digunakan untuk melindungi tanaman  dan hasil tanaman, ternak maupun ikan dari kerugian yang ditimbulkan oleh berbagai jasad pengganggu. Bahkan oleh sebahagian besar petani, beranggapan bahwa pestisida adalah sebagai  “dewa penyelamat” yang sangat vital. Sebab dengan bantuan pestisida, petani meyakini dapat terhindar dari kerugian akibat serangan jasad pengganggu tanaman yang terdiri dari kelompok hama, penyakit maupun gulma. Keyakinan tersebut, cenderung memicu pengunaan pestisida dari waktu ke waktu meningkat dengan pesat.

 

Di Indonesia,  disamping perusahaan perkebunan, petani yang paling banyak menggunakan berbagai jenis pestisida ialah petani sayuran, petani tanaman pangan dan  petani tanaman hortikultura buah-buahan. Khusus petani sayuran, kelihatannya sulit melepaskan diri dari ketergantungan penggunaan pestisida. Bertanam sayuran tanpa pestisida dianggap tidak aman, dan sering kali pestisida dijadikan sebagai garansi keberhasilan berproduksi.

Kebijakan Masalalu Mendorong Petani Menggunakan Pestisida

Peningkatan pembangunan pertanian di Indonesia,  menyebabkan kebutuhan akan pestisida bertambah banyak, baik jumlah maupun jenisnya.. Mencermati kilas balik pembangunan pertanian di Indonesia, peningkatan penggunaan pestisida tidak terlepas dari peran pemerintah. Sejak tahun permulaan pelaksanaan program intensifikasi pangan, masalah hama diusahakan ditanggulangi dengan berbagai jenis  formulasi pestisida. Orientasi pemerintah pada waktu itu tertumpu pada peningkatan hasil sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan dampak negatif terhadap lingkungan. Pada saat dicanangkannya program intensifikasi pangan melalui program nasional BIMAS, pestisida telah dimasukkan sebagai paket teknologi yang wajib digunakan petani peserta. Bagi petani yang tidak menggunakan pestisida, oleh pemerintah dianggap tidak layak sebagai penerima bantuan BIMAS. Akibatnya, mau tidak mau petani dirangsang  menggunakan pestisida. Bahkan pada waktu  itu, pemerintah bermurah hati memberi subsidi pengadaan pestisida hingga mencapai 80 persen, sehingga harga pestisida  di pasaran menjadi sangat murah. Tidak itu saja, termasuk jenis pestisida yang digunakan, hingga keputusan penggunaannya (jadwal aplikasi) diatur oleh pemerintah.

Jenis pestisida yang dianjurkan digunakan pada waktu itu umumnya adalah  pestisida yang berdaya bunuh berspektrum luas, yaitu mampu membunuh sebahagian besar organisma yang dikenainya, termasuk organisma berguna seperti musuh alami hama dan organisma bukan target lainnya yang hidup berdampingan dengan organisma pengganggu tanaman. Program penyuluhan pertanianpun  merekomendasikan aplikasi pestisida   secara terjadwal dengan sistem kalender, tanpa memperhatikan ada atau tidak ada hama yang menyerang tanaman di lapangan. Sehingga frekuensi penyemprotan menjadi lebih intensif, dan  biasa dilakukan setiap minggu sepanjang musim tanam.

Kebijakan perlakuan seperti disebut dimuka,  tidak selamanya menguntungkan. Hasil evaluasi memperlihatkan, timbul kerugian yang tidak disadari yang  sebelumnya tidak diperkirakan. Beberapa kerugian yang muncul akibat pengendalian organisma pengganggu tanaman yang semata-mata mengandalkan pestisida, antara lain menimbulkan kekebalan (resistensi) hama, mendorong terjadinya resurgensi, terbunuhnya musuh alami dan jasad non target, serta dapat menyebabkan terjadinya ledakan populasi hama sekunder.

Dampak Negatif Pestisida Pertanian

Memang kita akui, pestisida banyak memberi manfaat dan keuntungan. Diantaranya, cepat menurunkan populasi jasad penganggu tanaman dengan periode pengendalian yang lebih panjang, mudah dan praktis cara penggunaannya, mudah diproduksi secara besar-besaran serta mudah diangkut dan disimpan. Manfaat yang lain,  secara ekonomi  penggunaan pestisida relatif menguntungkan. Namun, bukan berarti penggunaan pestisida tidak menimbulkan dampak buruk.

Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya  pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan pestisida, dapat dikelompokkan atas 3 bagian : (1). Pestisida berpengaruh negatip terhadap kesehatan manusia, (2). Pestisida berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan, dan (3). Pestisida meningkatkan perkembangan populasi jasad penganggu tanaman.

Pengaruh Negatif Pestisida Terhadap Kesehatan Manusia

Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama, berasal dari kata pest dan sida. Pest meliputi hama penyakit secara  luas, sedangkan sida berasal dari kata “caedo” yang berarti membunuh. Pada umumnya pestisida, terutama pestisida sintesis adalah biosida yang tidak saja bersifat racun terhadap jasad pengganggu sasaran. Tetapi juga dapat bersifat racun terhadap manusia dan jasad bukan  target  termasuk tanaman, ternak dan organisma berguna lainnya.

Apabila penggunaan pestisida tanpa diimbangi dengan perlindungan dan perawatan kesehatan, orang yang sering berhubungan dengan pestisida, secara lambat laun akan mempengaruhi kesehatannya. Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu digunakan, tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan.

Kecelakaan  akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang langsung melaksanakan penyemprotan.  Mereka dapat mengalami pusing-pusing ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi  luka, kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja  dan kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.

Kadang-kadang para petani atau pekerja perkebunan, kurang menyadari daya racun pestisida, sehingga dalam melakukan penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan segi-segi keselamatan. Pestisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat menyemprot sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan dari plastik, tanpa baju lengan panjang, dan tidak mengenakan masker penutup mulut dan hidung. Juga cara penyemprotannya sering tidak memperhatikan arah angin, sehingga cairan semprot mengenai tubuhnya. Bahkan kadang-kadang wadah tempat pestisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang di sembarang tempat.  Kecerobohan yang lain, penggunaan  dosis aplikasi sering tidak sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang-kadang ditingkatkan hingga melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis yang rendah tidak mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman.

Secara tidak sengaja, pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak melalui mulut, kulit, dan pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia beracun tersebut masuk ke dalam tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan mengakibatkan keracunan kronis. Seseorang yang menderita keracunan kronis, ketahuan setelah selang  waktu yang lama, setelah berbulan atau bertahun. Keracunan kronis akibat pestisida saat ini paling ditakuti, karena efek racun dapat bersifat karsiogenic (pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), dan teratogenic (kelahiran anak cacad dari ibu yang keracunan).

Pestisida dalam bentuk gas merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi pernafasan, sedangkan yang berbentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit, karena dapat  masuk ke dalam  jaringan tubuh melalui ruang pori kulit. Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis. Saat itu, bahan kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi  pestisida sintesis.

Selain  keracunan langsung,  dampak negatif pestisida bisa mempengaruhi kesehatan orang awam yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak berhubungan dengan pestisida. Kemungkinan ini bisa terjadi  akibat sisa racun (residu)  pestisida  yang ada didalam tanaman atau bagian tanaman yang dikonsumsi manusia sebagai bahan makanan. Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah kemasukan racun pestisida melalui hidangan makanan yang dikonsumsi setiap hari.  Apabila jenis pestisida mempunyai residu terlalu tinggi pada tanaman, maka akan membahayakan manusia atau ternak yang mengkonsumsi tanaman tersebut.  Makin tinggi residu, makin berbahaya bagi konsumen.

Dewasa ini, residu pestisida di dalam makanan dan lingkungan semakin menakutkan manusia.  Masalah residu ini, terutama terdapat pada tanaman sayur-sayuran seperti kubis, tomat, petsai, bawang, cabai, anggur dan lain-lainnya. Sebab jenis-jenis tersebut umumnya disemprot secara rutin dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi, bisa sepuluh sampai lima belas kali dalam semusim. Bahkan beberapa hari menjelang panenpun, masih dilakukan aplikasi pestisida. Publikasi ilmiah pernah melaporkan  dalam jaringan tubuh  bayi yang dilahirkan seorang Ibu yang secara rutin mengkonsumsi sayuran yang disemprot pestisida, terdapat kelainan genetik yang berpotensi menyebabkan bayi tersebut cacat  tubuh sekaligus cacat mental.

Belakangan ini, masalah residu pestisida pada produk pertanian dijadikan pertimbangan untuk diterima atau ditolak negara importir. Negara maju umumnya tidak mentolerir adanya residu pestisida pada bahan makanan yang masuk ke negaranya. Belakangan ini produk pertanian Indonesia sering ditolak di luar negeri karena residu pestisida yang berlebihan. Media massa pernah memberitakan, ekspor cabai Indonesia ke Singapura tidak dapat diterima dan akhirnya dimusnahkan karena residu pestisida yang melebihi ambang batas. Demikian juga pruduksi sayur mayur dari Sumatera Utara, pada tahun 80-an  masih diterima pasar luar negeri. Tetapi  kurun waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan kesadaran peningkatan kesehatan, sayur mayur dari Sumatera Utara ditolak konsumen luar negeri,  dengan alasan kandungan residu pestisida yang  tidak dapat ditoleransi karena melampaui ambang batas..

 Pada tahun 1996, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian sebenarnya telah membuat keputusan tentang penetapan ambang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian.  Namun pada kenyatannya,  belum banyak pengusaha pertanian atau petani yang perduli. Dan baru menyadari setelah ekspor produk pertanian kita ditolak oleh negara importir, akibat residu pestisida yang tinggi. Diramalkan, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat pengendali hama, pemberlakuan ekolabelling dan ISO 14000 dalam era perdagangan bebas, membuat produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dan tersisih serta terpuruk di pasar global.

 Pestisida Berpengaruh Buruk Terhadap Kualitas Lingkungan

Masalah yang banyak diprihatinkan dalam pelaksanaan program pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah masalah pencemaran yang diakibatkan penggunaan pestisida di bidang pertanian, kehutanan,  pemukiman, maupun di sektor kesehatan. Pencemaran pestisida terjadi karena adanya residu yang tertinggal di lingkungan fisik dan biotis disekitar kita. Sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan hidup manusia semakin menurun.

Pestisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu  yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap  organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada lingkungan menjadi masalah.

Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.

Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota  bukan sasaran.

Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi pengenceran, sebahagian ada  yang terurai dan sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi.

Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton. Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton  akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang di dalam air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton zooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula  konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan  besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut.

Model pencemaran seperti yang dikemukakan, terjadi melalaui rantai makanan, yang bergerak dari aras tropi yang terendah menuju aras tropi yang tinggi. Mekanisme seperti yang dikemukakan, diduga terjadi pada kasus pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi, yang menghebohkan sejak tahun lalu. Diduga logam-logam berat limbah sebuah industri PMA telah terakumulasi di perairan Teluk Buyat. Sekaligus mempengaruhi secara negatif biota perairan, termasuk ikan-ikan yang dikonsumsi masyarakat setempat.

Kasus pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dampaknya tidak segera dapat dilihat. Sehingga sering kali diabaikan dan terkadang dianggap sebagai akibat sampingan yang tak dapat dihindari. Akibat pencemaran lingkungan terhadap organisma biosfer, dapat mengakibatkan kematian dan menciptakan hilangnya spesies tertentu yang bukan jasad sasaran. Sedangkan kehilangan satu spesies dari muka bumi dapat menimbulkan akibat negatif jangka panjang yang tidak dapat diperbaharui. Seringkali yang langsung terbunuh oleh penggunaan pestisida adalah spesies serangga yang menguntungkan seperti lebah, musuh alami hama, invertebrata, dan bangsa burung.

Di daerah Simalungun, diketahui paling tidak dua jenis spesies burung yang dikenal sebagai pengendali alami hama serangga, saat ini sulit diketemukan dan mungkin saja sedang menuju kepunahan.  Penyebabnya, salah satu adalah akibat pengaruh buruk pestisida terhadap lingkungan, yang tercemar melalui rantai makanan.

Spesies burung Anduhur Bolon, disamping pemakan biji-bijian, juga dikenal sebagai predator serangga, khususnya hama Belalang (famili Locustidae) dan hama serangga Anjing Tanah (famili Gryllotalpidae). Untuk mencegah gangguan serangga Gryllotalpidae yang menyerang kecambah padi yang baru tumbuh, pada saat bertanam petani biasanya mencampur benih padi dengan pestisida organoklor seperti Endrin dan Diendrin yang terkenal sangat ampuh mematikan hama serangga. Jenis pestisida ini hingga tahun 60-an masih diperjual-belikan secara bebas, dan belum dilarang penggunaaanya untuk kepentingan pertanian.

Akibat efek racun pestisida, biasanya 2 – 3 hari setelah bertanam serangga-serangga Gryllotalpidae  yang bermaksud memakan kecambah dari dalam tanah,  mengalami mati massal  dan  menggeletak diatas permukaan tanah.  Bangkai serangga ini tentu saja menjadi makanan yang empuk bagi burung-burung  Anduhur Bolon, tetapi sekaligus mematikan spesies burung pengendali alami tersebut.

Satu lagi, spesies burung Tullik. Burung berukuran tubuh kecil ini diketahui sebagai predator ulat penggerek batang padi (Tryporiza sp). Bangsa burung Tullik sangat aktif mencari ulat-ulat yang menggerek batang padi, sehingga dalam kondisi normal perkembangan serangga hama penggerek batang padi dapat terkontrol secara alamiah berkat jasa burung tersebut. Tetapi seiring dengan pesatnya pemakaian pestisida, terutama penggunaan pestisida sistemik, populasi burung tersebut menurun drastis. Bahkan belakangan ini, spesies tersebut sulit diketemukan. Hilangnya spesies burung ini, akibat  efek racun yang terkontaminasi dalam tubuh ulat padi, yang dijadikan burung Tullik sebagai makanan utamanya.

Belakangan ini, penggunaan  pestisida memang sudah diatur dan dikendalikan. Bahkan pemerintah melarang peredaran jenis pestisida tertentu yang berpotensi menimbulkan dampak buruk. Tetapi sebahagian sudah terlanjur. Telah banyak terjadi degradasi lingkungan berupa kerusakan ekosistem, akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Salah satu contohnya adalah hilangnya populasi spesies predator hama, seperti yang dikemukakan diatas.

 Pestisida Meningkatkan Perkembangan Populasi Jasad Penganggu Tanaman

Tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengurangi populasi hama. Akan  tetapi dalam kenyataannya, sebaliknya malahan sering meningkatkan populasi jasad pengganggu tanaman, sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal ini sering terjadi, karena kurang pengetahuan dan perhitungan tentang dampak penggunaan pestisida. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang dapat dikemukakan mengapa pestisida menjadi tidak efektif, dan malahan sebaliknya bisa meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman.

Berikut ini diuraikan tiga dampak buruk penggunaan pestisida, khususnya yang mempengaruhi peningkatan perkembangan populasi hama.

1.   Munculnya Ketahanan  (Resistensi) Hama Terhadap Pestisida

Timbulnya ketahanan hama terhadap pemberian pestisida yang terus menerus, merupakan fenomena dan konsekuensi ekologis yang umum dan logis.

Munculnya resistensi adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees). Karena hama terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui proses seleksi alami, spesies hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu yang digunakan petani. Pada tahun 1947, dua tahun setelah penggunaan  pestisida DDT, diketahui muncul strain serangga yang resisten terhadap DDT. Saat ini,  telah didata lebih dari 500 spesies serangga hama telah resisten terhadap berbagai jenis kelompok insektisida.

Mekanisme timbulnya resistensi hama dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila suatu populasi hama yang terdiri dari banyak individu, dikenakan pada suatu tekanan lingkungan, misalnya penyemprotan bahan kimia beracun, maka sebagian besar individu populasi tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian banyak individu, ada satu atau beberapa individu yang mampu bertahan  hidup. Tidak terbunuhnya individu yang bertahan tersebut,  mungkin disebabkan  terhindar dari efek racun pestisida,  atau sebahagian karena sifat genetik yang dimilikinya. Ketahanan secara genetik ini, mungkin disebabkan kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi yang mampu menetralkan daya racun pestisida. Keturunan individu tahan ini, akan menghasilkan populasi yang juga tahan secara genetis.  Oleh karena itu, pada generasi berikutnya anggota populasi akan terdiri dari lebih banyak individu yang tahan terhadap pestisida. Sehingga muncul populasi hama yang benar-benar resisten. 

Dari penelaahan sifat-sifat hama, hampir setiap individu memiliki potensi untuk menjadi tahan terhadap pestisida. Hanya saja, waktu dan besarnya ketahanan tersebut bervariasi, dipengaruhi oleh jenis hama, jenis pestisida yang diberikan, intensitas pemberian pestisida dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Oleh karena sifat resistensi dikendalikan oleh faktor genetis, maka fenomena resistensi adalah permanent, dan tidak dapat kembali lagi. Bila sesuatu jenis serangga telah menunjukkan sifat ketahanan dalam waktu yang cukup lama, serangga tersebut tidak akan pernah berubah kembali lagi menjadi serangga yang peka terhadap pestisida.

Di Indonesia, beberapa jenis-jenis hama yang diketahui resisten terhadap pestisida antara lain hama Kubis Plutella xylostella, hama Kubis Crocidolomia pavonana, hama penggerek umbi Kentang Phthorimaea operculella, dan Ulat Grayak Spodoptera litura. Demikian juga hama hama-hama tanaman padi seperti wereng coklat (Nilaparvata lugens), hama walang sangit (Nephotettix inticeps) dan ulat penggerek batang (Chilo suppressalis). dilaporkan  mengalami peningkatan ketahanan terhadap pestisida. Dengan semakin tahannya hama terhadap pestisida, petani terdorong untuk semakin sering melakukan penyemprotan dan sekaligus melipat gandakan tinggkat dosis. Penggunaan pestisida yang berlebihan ini dapat menstimulasi peningkatan populasi hama.

Ketahanan terhadap pestisida tidak hanya berkembang pada serangga atau binatang arthropoda lainnya, tetapi juga saat ini telah banyak kasus timbulnya ketahanan pada pathogen/penyakit tanaman terhadap fungisida, ketahanan gulma terhadap herbisida dan ketahanan nematode terhadap nematisida.

 2.   Resurgensi Hama

Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi pestisida, populasi hama  menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas dan efesiensi pengendalian dengan pestisida.

Resurjensi hama terjadi karena pestisida, sebagai racun yang berspektrum luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang terhindar dan bertahan terhadap penyemprotan pestisida,  sering kali mati kelaparan karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit, sehingga tidak tersedia makanan dalam jumlah cukup. Kondisi demikian terkadang menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk mempertahankan hidup. Disisi lain, serangga hama akan berada pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam jumlah cukup dan pengendali alami sebagai pembatas pertumbuhan populasi menjadi tidak  berfungsi. Akibatnya populasi hama meningkat tajam segera setelah penyemprotan.

Resurgensi hama, selain disebabkan karena terbunuhnya musuh alami, ternyata dari  penelitian  lima  tahun terakhir dibuktikan bahwa ada jenis-jenis pestisida tertentu yang memacu peningkatan telur serangga hama . Hasil ini telah dibuktikan International Rice Research Institute terhadap hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens).

3.   Ledakan Populasi Hama Sekunder

Dalam ekosistem pertanian,  diketahui terdapat beberapa hama utama dan banyak hama-hama kedua atau hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengendalikan hama utama yang paling merusak. Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi, apabila setelah perlakuan pestisida menghasilkan penurunan populasi hama utama, tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya bukan  hama utama, sampai tingkat yang merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan oleh terbunuhnya musuh alami, akibat penggunaan pestisida yang berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder.

 Peristiwa terjadinya ledakan populasi hama sekunder di Indonesia,  dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif pestisida Dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi kuning Scirpophaga incertulas. Penelitian dirumah kaca membuktikan, dengan menyemprotkan Dimecron pada tanaman padi muda, hama ganjur dapat berkembang dengan baik, karena parasitoidnya terbunuh. Munculnya hama wereng coklat Nilaparvata lugens setelah tahun 1973 mengganti kedudukan hama penggerek batang padi sebagai hama utama di Indonesia, mungkin disebabkan penggunaan pestisida golongan khlor secara intensif untuk mengendalikan hama sundep dan weluk

 Penutup

 Berbagai dampak negatif yang ditimbulkan pemakaian pestisida yang tidak bijaksana, semoga menggugah kesadaran kita untuk tidak selamanya bergantung kepada pestisida. Untuk menanggulangi organisme pengganggu tanaman, masih terdapat teknologi  lain yang dapat diterapkan, yang  relative tidak berdampak negatif bagi manusia demikian juga bagi lingkungan hidup. Pestisida seharusnya tidak lagi “didewakan” sebagai satu-satunya teknologi penyelamat produksi. Melainkan disarankan digunakan hanya bila perlu saja sebagai alternatif terakhir.  Sedapat mungkin penggunaanya diupayakan dengan bijaksana

Sejalan dengan maksud tersebut, pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1986 telah mengeluarkan kebijakan dan tindakan yang dapat membatasi dan mengurangi penggunaan pestisida. Melalui Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1986 program penanganan organisma pengganggu tanaman  adalah dengan menerapkan prinsip pengelolaan hama terpadu (PHT) sebagai program nasional, yang merupakan upaya untuk mengantisipasi dampak buruk pemakaian pestisida.

 

Bacaan Acuan

Bottrel, D.G. 1979. Integrated Pest Management. Council of Environ. Quality. Washington D.C.

Hidayat Natawigena dan G. Satari. 1981. Kecenderungan Penggunaan Pupuk dan Pestisida dalam Intensifikasi Pertanian dan Dampak Potensialnya Terhadap Lingkungan. Seminar terbatas  19 Maret 1981 Lembaga Ekologi Unpad Bandung.

Kenmore, P.E. 1987. IPM Means the Best Mix. Rice IPM Newsletter. VII (7). IRRI. Manila. Philippines.

Mulyani, S. dan M. Sumatera. 1982. Masalah Residu Pestisida pada Produk Hortikultura. Simposium Entomologi, Bandung 25 – 27 September 1982.

Mc Ewen, F.L. and G.R.Stephenson. 1979. The Use and Significance of Pestiside in The Environment. A Wiley Intercience Publication. John Wiley & Sons, New York.

Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Pimentel, D. 1971. Ecological Effects of Pesticides on Nontarget Species. Office of Science and Technology. Washington D.C. Stack Number 4106-0029.

Pimentel, D. 1982. Environmental Aspects of Pest Management. Chemistry and World Food Suplies. Chemrawn II. Pergamon Press.

Smith, R.F.1978. Distory and Complexity of Integrated Pest Management. In: Pest Control Strategis. S.H. Smith and D. Pimentel (Ed.). Acad. Press. New York.

Smith, R.F and J.L. Apple. 1978. Principles of Integrated Pest Control. IRRI Mimeograph.

Untung, K. 1984. Pengantar Analisis Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset. Yogyakarta.

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

 

 

PENGEMBANGAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU

                       Warlinson Girsang

w-girsang2Staf Pengajar Fak. Pertanian USI

 

 Pendahuluan

 Teknologi pengendalian hama dengan mengandalkan pestisida, ternyata tidak selamanya mampu mengatasi masalah hama tanaman. Bahkan penggunaan pestisida bisa berdampak buruk bagi manusia, jasad bukan sasaran dan lingkungan hidup. Kenyataan tersebut menggugah kesadaran akan kebutuhan pengendalian yang baru, yang dapat mengurangi dampak negatif  penggunaan pestisida. Pendekatan pengendalian baru yang dikembangkan ialah pengendalian hama terpadu (PHT).

Konsepsi PHT semula diartikan secara terbatas sebagai kombinasi pengendalian hama secara hayati dan pengendalian hama secara kimiawi menggunakan pestisida. Tetapi teknik pengendalian kemudian dikembangkan dengan memadukan semua metode pengendalian hama yang dikenal. Termasuk didalamnya pengendalian secara fisik, pengendalian mekanik, pengendalian secara bercocok tanam, pengendalian hayati,  pengendalian kimiawi dan pengendalian hama lainnya. Dengan cara ini, diharapkan ketergantungan petani terhadap pestisida dapat dikurangi.

 Pengertian Pengendalian Hama Terpadu

Banyak ahli memberikan batasan tentang PHT secara beragam, tetapi pada dasarnya mengandung prinsip yang sama.   Smith (1978) menyatakan PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat multidisplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam suatu kesatuan kordinasi pengelolaan.  Bottrell (1979) menekankan bahwa PHT adalah pemilihan secara cerdik dari penggunaan tindakan pengendalian hama, yang dapat menjamin hasil yang menguntungkan dilihat dari segi ekonomi, ekologi dan sosiologi. Sedangkan Kenmore (1989) memberikan definisi singkat PHT sebagai perpaduan yang terbaik. Yang dimaksud perpaduan terbaik ialah menggunakan berbagai metode pengendalian hama secara kompatibel. Sehingga melalui penerapan PHT, diharapkan kerusakan yang ditimbulkan hama tidak merugikan secara ekonomi, sekaligus menghindari kerugian bagi manusia, binatang, tanaman dan lingkungan.

 Dilihat dari segi operasional pengendalian hama dengan PHT dapat kita artikan sebagai pengendalian hama yang memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama sedemikian rupa, sehingga populasi hama dapat tetap berada di bawah aras kerusakan.

 Sifat Dasar Pengendalian Hama Terpadu

 Sifat dasar pengendalian hama terpadu berbeda dengan pengendalian hama secara konvensional yang saat ini masih banyak dipraktekkan. Dalam PHT, tujuan utama bukanlah pemusnahan, pembasmian atau pemberantasan hama. Melainkan berupa pengendalian populasi hama agar tetap berada di bawah aras yang tidak mengakibatkan kerugian secara ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi, melainkan   pembatasan (containment). Program PHT mengakui bahwa ada suatu jenjang toleransi manusia terhadap populasi hama, atau terhadap kerusakan yang disebabkan oleh hama. Dalam keadaan tertentu, adanya invidu serangga atau binatang kemungkinan berguna bagi manusia. Pandangan yang menyatakan bahwa setiap individu yang ada di lapangan  harus diberantas,  tidak sesuai dengan prinsip PHT.

Pengendalian hama dengan PHT disebut pengendalian secara multilateral, yaitu menggunakan semua metode atau teknik pengendalian yang dikenal. PHT tidak bergantung pada satu cara pengendalian tertentu, seperti memfokuskan penggunaan pestisida saja, atau penanaman varietas tahan hama saja. Melainkan semua teknik pengendalian sedapat mungkin dikombinasikan secara terpadu, dalam suatu sistem kesatuan pengelolaan. Disamping sifat dasar yang telah dikemukakan, PHT harus dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi. Dan penerapannya tidak  menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan bagi mahluk berguna, hewan, dan manusia, baik sekarang  maupun pada masa yang akan datang.

 Langkah-langkah Pengembangan PHT

 Pengembangan sistem PHT  didasarkan  pada keadaan agroekosistem setempat. Sehingga pengembangan PHT pada suatu daerah boleh jadi berbeda dengan pengembangan di daerah lain. Sistem PHT harus disesuaikan dengan keadaan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat petani setempat.

 Para ahli dan lembaga-lembaga internasional seperti FAO menyarankan langkah pengembangan PHT agak berbeda satu sama lain. Namun  diantara saran-saran mereka banyak persamaan. Perbedaannya terutama terletak pada penekanan dan urutan-urutan langkah-langkah yang harus ditempuh.

Menurut Smith dan Apple (1978), langkah langkah pokok yang perlu dikerjakan dalam pengembangan PHT adalah sebagai berikut.

 Langkah 1

Mengenal Status Hama yang Dikelola

 Hama-hama yang menyerang pada suatu agroekosistem, perlu dikenal dengan baik. Sifat-sifat hama perlu diketahui, meliputi perilaku hama, dinamika perkembangan populasi, tingkat kesukaan makanan, dan tingkat kerusakan yang diakibatkannya. Pengenalan hama dapat dilakukan melalui identifikasi dan  hasil analisis status hama yang ada.

Dalam suatu agroekosistem, kelompok hama  yang ada bisa dikategorikan atas hama utama, hama kadangkala (hama minor), hama potensil, hama migran dan bukan hama. Dengan mempelajari dan mengetahui status hama, dapat ditetapkan jenjang toleransi ekonomi untuk masing-masing kategori hama.

Hama utama atau hama kunci (main pest) merupakan spesies hama yang selalu menyerang pada suatu tempat, dengaan intensitas serangan yang berat dalam daerah yang luas, sehingga memerlukan usaha pengendalian. Tanpa usaha pengendalian, kelompok hama ini akan mendatangkan kerugian ekonomi bagi petani. Biasanya pada suatu agroekosistem, hanya ada satu atau dua hama utama, selebihnya termasuk dalam kategori hama yang lain. Dalam penerapan PHT sasaran yang dituju adalah menurunkan populasi hama utama.

Hama kadangkala atau hama minor (occasional pest) sering juga disebut hama kedua. Kelompok ini merupakan jenis hama yang relatif kurang penting, karena kerusakan yang diakibatkan masih dapat ditoleransikan oleh tanaman. Kadang-kadang populasinya pada suatu saat meningkat melebihi aras toleransi ekonomik tanaman. Peningkatan populasi ini mungkin disebabkan karena gangguan pada proses pengendali alami, keadaan iklim, atau kesalahan pengelolaan oleh manusia. Kelompok hama ini sering kali peka terhadap perlakuan pengendalian yang ditujukan pada hama utama. Oleh karena itu kelompok hama ini perlu diawasi, agar tidak menimbulkan apa yang disebut ledakan populasi hama kedua.

Hama potensil merupakan sebagian besar jenis serangga herbivora yang saling berkompetisi dalam memperoleh makanan. Kelompok hama ini, tidak mendatangkan kerugian yang berarti dan tidak membahayakan dalam kondisi pengelolaan agroekosistem yang normal. Namun karena kedudukannya dalam rantai makanan,  populasi kelompok ini berpotensi meningkat, dan  menjadi  hama yang membahayakan. Hal ini sangat mungkin terjadi, terlebih akibat perubahan cara pengelolaan agroekosistem oleh manusia.

Hama migran merupakan hama yang tidak berasal i dari agroekosistem setempat. Kelompok hama ini datang dari luar, dan sifatnya  berpindah-pindah (migran). Banyak serangga belalang, ulat grayak dan bangsa burung memiliki sifat demikian. Kelompok hama migran kalau datang pada suatu tempat, dapat menimbulkan kerusakan yang berarti. Tetapi hanya dalam jangka waktu yang pendek, karena akan pindah ke daerah lain.

Kecuali empat kelompok tersebut, ada beberapa pakar yang menambah satu kelompok hama lagi yaitu hama sekunder atau hama sporadis. Kelompok hama ini dalam keadaan normal, selalu dapat dikendalikan oleh musuh alaminya, sehingga tidak membahayakan. Kelompok ini baru menjadi masalah bila populasi musuh alami berkurang,  karena  terbunuh oleh pestisida misalnya.

Satu jenis serangga dalam kondisi tempat dan waktu tertentu dapat berubah status, misal dari hama potensil  menjadi hama utama, atau dari hama utama kemudian menjadi hama minor.

Langkah 2

Mempelajari Komponen Saling Tindak dalam Ekosistem

 Komponen suatu ekosistem perlu ditelaah dan dipelajari. Terutama yang mempengaruhi dinamika perkembangan populasi hama-hama utama. Termasuk dalam langkah ini, ialah menginventarisir musuh-musuh alami, sekaligus mengetahui potensi mereka sebagai pengendali alami.

Interaksi antar berbagai komponen biotis dan abiotis, dinamika populasi hama dan musuh alami, studi fenologi tanaman dan hama, studi sebaran hama dan lain-lain, merupakan bahan yang sangat diperlukan untuk menetapkan strategi pengendalian hama yang tepat.

 Langkah 3

 Penetapan dan Pengembangan Ambang Ekonomi

 Ambang ekonomi atau ambang pengendalian sering juga diistilahkan sebagai ambang toleransi ekonomik. Ambang ini merupakan ketetapan tentang pengambilan keputusan, kapan harus dilaksanakan penggunaan pestisida. Apabila ternyata populasi atau kerusakan hama belum mencapai aras tersebut, penggunaan pestisida masih belum diperlukan.

Untuk menetapkan ambang ekonomi bukanlah pekerjaan yang gampang. Dibutuhkan banyak informasi, baik data biologi dan ekologi, serta ekonomi. Penetapan kerusakan hasil dalam hubungannya dengan populasi hama, merupakan bagian yang penting dalam pengembangan ambang ekonomi. Demikian juga analisis biaya dan manfaat pengendalian,  sangat perlu diketahui.

   Langkah 4

 Pengembangan Sistem Pengamatan dan Monitoring Hama

 Untuk mengetahui padat populasi hama pada suatu waktu dan tempat, yang berkaitan  terhadap ambang ekonomi hama tersebut, dibutuhkan program pengamatan atau monitoring hama secara rutin dan terorganisasi dengan baik. Metode pengambilan sampel secara benar perlu dikembangkan.  Agar data lapangan yang diperoleh dapat dipercaya secara statistik, dan cara pengumpulan data mudah dikerjakan.

Jaringan dan organisasi monitoring yang merupakan salah satu bagian organisasi PHT, perlu dikembangkan agar dapat menjamin ketepatan dan kecepatan arus informasi dari lapangan ke pihak pengambil keputusan pengendalian hama dan sebaliknya.

Langkah 5.

 Pengembangan Model Deskriptif dan Peramalan Hama

 Dengan mengetahui gejolak populasi hama dan hubungannya dengan komponen-komponen ekosistem lainnya, maka perlu dikembangkan model kuantitatif yang dinamis. Model yang dikembangkan diharapkan mampu menggambarkan gejolak populasi dan kerusakan yang ditimbulkan pada waktu yang akan datang. Sehingga, akan dapat diperkirakan dinamika populasi, sekaligus mempertimbangkan bagaimana penanganan agar tidak sampai terjadi ledakan populasi yang merugikan secara ekonomi.

  Langkah 6

 Pengembangan Srategi Pengelolaan Hama 

Strategi dasar PHT adalah menggunakan taktik pengendalian ganda dalam suatu kesatuan sistem yang terkordinasi. Strategi PHT mengusahakan agar populasi atau kerusakan yang ditimbulkan hama tetap berada di bawah aras toleransi manusia. Beberapa taktik dasar PHT antara lain : (1). memanfaatkan pengendalian hayati yang asli ditempat tersebut, (2). mengoptimalkan pengelolaan lingkungan melalui penerapan  kultur teknik yang baik, dan  (3). penggunaan pestisida secara selektif.

Srategi pengelolaan hama berdasarkan PHT, menempatkan pestisida sebagai alternatif terakhir. Pestisida digunakan, jika teknik pengendalian yang lain dianggap tidak mampu mengendalikan  serangan hama.

 Langkah 7

Penyuluhan Kepada Petani Agar Menerima dan Menerapkan PHT 

Petani sebagai pelaksana utama pengendalian hama, perlu menyadari dan mengerti tentang cara pendekatan PHT, termasuk bagaimana menerapkannya di lapangan. Pemahaman lama secara konvensional tentang “pemberantasan” hama, perlu diganti dengan pengertian “pengendalian” atau “pengelolaan” hama. Petani perlu diberikan kepercayaan dan kemampuan untuk dapat mengamati sendiri dan melaporkan keadaan hama pada pertanamannya.

 

 

 

 

Langkah 8

 Pengembangan Organisasi PHT

      Sistem PHT mengharuskan adanya suatu organisasi yang efisien dan efektif,  yang dapat bekerja secara cepat dan tepat dalam menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada agroekosistem. Organisasi tersebut tersusun oleh komponen monitoring, pengambil keputusan, program tindakan, dan penyuluhan pada petani. Organisasi PHT merupakan suatu organisasi yang mampu menyelesaikan permasalahan hama secara mandiri, pada daerah atau unit kerja yang menjadi tanggungjawabnya..

 Penutup

 Pemerintah telah menetapkan PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman.  Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia ialah intrusksi Presiden nomor 3 Tahun 1986 dan Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

 Dengan berdasarkan pada program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, diharapkan program PHT dapat dikembangkan dan diterapkan oleh petani.

 Bacaan Acuan

 

Bottrel, D.G. 1979. Integrated Pest Management. Council of Environ. Quality. Washington D.C.

Kenmore, P.E. 1987. IPM Means the Best Mix. Rice IPM Newsletter. VII (7). IRRI. Manila. Philippines.

Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Smith, R.F.1978. Distory and Complexity of Integrated Pest Management. In: Pest Control Strategis. S.H. Smith and D. Pimentel (Ed.). Acad. Press. New York.

Smith, R.F and J.L. Apple. 1978. Principles of Integrated Pest Control. IRRI Mimeograph.

Untung, K. 1984. Pengantar Analisis Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset. Yogyakarta.

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

PEMANFAATAN BUAH TUSAM (Pinus merkusii Jungh. et de Vries) DAN BUAH ANTURMANGAN (Casuarina sumatrana. JUNGH) SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG BRIKET

ABSTRAK

Pemanfaatan Buah Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vries) dan Buah Anturmangan (Casuarina sumatrana. JUNGH) Sebagai Bahan Baku Arang Briket

Oleh :  Marulam Simarmata

Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat saat ini berbanding lurus dengan kebutuhan sumber energi, seperti gas alam, minyak bumi, dan bahan baker klasik (kayu), yang semakin mahal dan susah mendapatkannya. Kondisi tersebut diatas, diperlukan sumber energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi dan defisit bahan baku energi.

Sumatera Utara merupakan salah satu sentra penyebaran jenis konifer selain Aceh, Sumatera Barat dan Jawa (Martawijaya et al, 1998). Mayoritas dari jenis konifer di Sumatera Utara adalah Tusam dan sebahagian Anturmangan. Indonesia merupakan salah satu negara penyuplai arang berkualitas untuk negara tujuan ekspor seperti, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura.

Tujuan penelitian untuk mengetahui sifat fisik kimia arang briket buah tusam dan arang briket buah anturmangan serta pengaruh konsentrasi perekat terhadap sifat fisika dan kimia arang briket.

Penentuan Sifat kimia arang briket dilakukan dengan penentuan kadar abu, penentuan kadar zat menguap, dan penentuan kadar karbon terikat.

Selanjutnya dilakukan analisa statistik dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu arah dengan satu faktor perekat dan dua bahan baku dengan 3 ulangan, pada tiap parameter contoh uji bentuk dan ukuran berdasarkan pada ASTM D1762 dan ASTM D 2015.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa arang briket buah tusam memiliki kadar air 8,66%, berat jenis 0,4%, kalor 5.489,5%, karbon terikat 73,90%, zat mudah menguap sebesar 22,90%, dan kadar abu 3,20%. Sedangkan arang briket buah anturmangan memiliki kadar air 8,97%, berat jenis 0,46%, kalor 5.597,7%, karbon terikat 76,40%, zat mudah menguap sebesar 21%, dan kadar abu 2,60%

Kesimpulan yang dapat ditarik, bahwa buah tusam dan anturmangan baik untuk dikembangkan dan dimasyarakatkan mengingat kualitas yang dihasilkan dan sistem pembuatan yang sederhana dapat dilakukan oleh masyarakat.

 

 

Kata Kunci : Tusam, Anturmangan, Arang Briket. 

 

 

I. PENDAHULUAN

 

1.      Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat saat ini berbanding lurus dengan kebutuhan sumber energi, seperti gas alam, minyak bumi, dan bahan baker klasik (kayu), yang semakin mahal dan susah mendapatkannya.

Kondisi tersebut diatas, diperlukan sumber energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi dan defisit bahan baku energi.

Sumatera Utara merupakan salah satu sentra penyebaran jenis konifer selain Aceh, Sumatera Barat dan Jawa (Martawijaya et al, 1998). Mayoritas dari jenis konifer di Sumatera Utara adalah Tusam dan sebahagian Anturmangan. Pemanfaatannya sebagai bahan bakar kayu dan arang telah lama memanfaatkan sejak jaman dahulu, tusam termasuk jenis kayu dengan kelas kuat V dan kelas awet IV berbuah sepanjang tahun termasuk dalam kayu lunak sedangkan Anturmangan  termasuk kayu keras bahkan sangat keras dan berat dengan kelas kuat I dan Kelas Awet II (Harlow et al, ,1991).

Disebutkan dalam Artati (2000), disadur dari Gatra (1998), bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penyuplai arang berkualitas untuk negara tujuan ekspor seperti, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Data statistik kehutanan menyebutkan bahwa pada tahun 1996/1997 ekspor arang Indonesia mencapai angka 177.833 ton/tahun.

Bertitik tolak dari kondisi dimaksud, pemanfaatan buah Tusam dan buah Anturmangan merupakan sebuah peluang untuk diteliti dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar hutan, disamping pengurangan dampak terjadinya kebakaran hutan pada hutan konifer.         

2.      Perumusan Masalah

Berkurangnya sumber bahan baku energi seperti gas alam, minyak bumi dan kayu merupakan sebuah masalah yang akan dicari alternatif sumber lain. Buah Tusam dan Anturmangan dengan potensi yang cukup besar di lokasi penelitian merupakan sebuah solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan bahan baku energi, disamping pengurangan dampak terjadinya bahaya kebakaran pada hutan dataran tinggi khususnya pada hutan pinus.

3.      Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk mengetahui sifat fisik kimia arang briket buah tusam dan arang briket buah anturmangan serta pengaruh konsentrasi perekat terhadap sifat fisika dan kimia arang briket.

4.      Kontribusi Penelitian

Penelitian ini merupakan salah satu usaha dari banyak upaya dalam memanfaatkan bahan-bahan yang terdapat di alam untuk digunakan dalam mengatasi krisis bahan baku energi serta diharapkan memberikan kontribusi sains dan teknologi sederhana yang dapat diterapkan dan dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat.

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat digunakan sebagai pedoman bagi seluruh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan  dalam pemanfaatan buah tusam dan anturmangan untuk pembuatan arang briket.

 

III. METODE  PENELITIAN

 

1.             Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Dasar Universitas Simalungun (USI) Pematangsiantar. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2007 sampai dengan Oktober 2007.

Lokasi pengumpulan bahan penelitian (buah tusam dan anturmangan) berasal dari areal hutan Aek Nauli Girsang Sipanganbolon Kabupaten Simalungun yang secara geografis terletak pada 20 41’ sampai 20 44’ LU dan 980 55’ sampai 980 58’ BT dengan elevasi 1200 mdpl.

2.             Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah buah tusam dan anturmangan yang kering dan baik, ditambah dengan bahan pendukung lainnya seperti tepung kanji, metil orange, Na2Co3, parafin cair, aquades, kawat krom dan aluminium foil.

sedangkan alat yang digunakan adalah tungku pengarangan sederhana; cetakan/kempa dingin briket tekanan 3 ton (panjang sisi 5 cm berbentuk bujur sangkar dengan tinggi 5cm); gilingan arang dan saringan mesh no. 60; gergaji; oven; desikator; timbangan analitis; oksigen Bom Kalorimeter; stop watch; erlen meyer 50 ml; pipet; buret 50 ml; gelas piala 500 ml; cawan porselin; tanur thermolyne; dan jarum.

3.             Metode Penelitian

a.       Persiapan

Bahan penelitian buah tusam dan anturmangan hasil seleksi dari kotoran selain buah dan dari buah yang cacat fisik dan masih muda, buah yang telah diseleksi dibiarkan kering angin selama 24 jam untuk selanjutnya diteruskan kepada proses pengarangan.

b.       Proses Pengarangan

Tungku pengarangan dibuat dari tong/drum sederhana ukuran 40cm x 40cm dan tinggi 60cm yang dimodifikasi dengan lubang udara dan cerobong asap. Buah yang akan dijadikan arang dimasukkan dalam tungku arang dan dibiarkan terbakar diudara bebas selama + 3 jam selanjutnya setelah terlihat terbakar total dimasukan kelubang pematangan dan pendinginan arang yang membutuhkan waktu + 2,5 jam.

c.           Penggilingan Arang

Setelah proses pengarangan, arang yang telah  dingin dihaluskan menggunakan alat penggiling arang.

d.       Pembuatan Arang Briket

Serbuk arang yang digiling kemudian diayak dengan saringan mesh 60, kemudian dicampurkan dengan perekat kanji dengan komposisi perekat 5%, 10%, dan 15% dengan kerapatan antara 0,5. perekat sebekum dicampurkan ditambah dengan air aquadest sebanyak 50 ml untuk  mempermudah pelarutan perekat dengan arang, kemudian setelah tercampur merata dimasukan kedalam cetakan kempa dingin dengan  tekanan 3 ton dan dibiarkan selama 15 menit. Selanjutnya pengeringan arang arang dengan kering angin selama 3 hari.

e.          Pengujian Kualitas Arang Briket

Pengujian kualitas arang briket menggunakan ASTM D 1762 untuk pengujian nilai kadar air, kadar zat mudah menguap,  kadar abu, dan kadar karbon terikat.

Sedangkan pengujian nilai kalor menggunakan ASTM D. 2015.

1.       Pengujian Sifat Fisika Arang Briket

a.       Kadar Air

Pengujian dilakukan dengan sampel berukuran 2x2x2 cm, kemudian ditimbang berat awal, lalu dimasukkan kedalam oven dengan suhu 103 ± 20C selama 2 jam, yang selanjutnya dimasukkan kedalam desikator kemudian ditimbang sampai berat sampel konstan.

 

 

 

 

Kadar air arang briket menggunakan rumus :

 

dimana :

KA  = kadar air arang

BA  = berat awal

BO  = berat oven

 

b.       Berat Jenis

Sampel berukuran 2x2x2 cm, yang telah kering oven konstan pada suhu 103 ± 20C, dicelupkan kedalam parafin cair hingga merata seluruh bagiannya, kemudian ditimbang pada air aquadest dalam gelas piala diatas timbangan analitis.

Penentuan berat jenis menggunakan rumus :

 

dimana :

BJ        = berat jenis

a          = berat contoh uji oven, gr

b          = berat a + parafin, gr

w1      = berat gelas piala + aquadest, gr

w2      = berat w1 + b, gr

0,9      = BJ Parafin

 

 

c.           Nilai Kalor

Nilai kalor diuji menggunakan alat Bom Kalori Meter, dengan prosedur pekerjaan sebagai berikut :

*                                     Persiapan alat

Contoh uji diambil seberat ± 1 gr, diletakkan pada mangkok pembakaran. Dilanjutkan dengan  pemasangan kawat krom sepanjang 10 cm pada elektoda dan disentuhkan pada contoh uji tanpa menyentuh mangkok pembakaran. Silender bom kalori meter (bkm) diisi dengan aquadest setinggi 1mm, kemudian kepala bkm diisi dengan oksigen murni (99,5%) sebanyak 30 atm. Panci silender diisi air 2 liter dan dimasukkan ke dalam mantel silinder. Selanjutnya dipasang 2 chop kabel arus listrik  AC 23 Volt yang terangkai pada tutup mantel silender. Tutup mantel silender agar pengaduk berputar secara bebas dan termometer dengan ketelitian 10C menghadap kedepan pengukur, siapkan stopwatch dan tabel pengukuran.

*                                     Pengukuran

Pengaduk dijalankan selama 5 menit, setiap menit diukur temperaturnya, untuk pengukuran nilai a, ta, rl. Pada saat waktu a tercapai, saklar (23V) dihidupkan sesaat (1 detik) selanjutnya mulai mencatat t30” = a, t45” + a, t60” + a, t75” ……..t150” + a dan selang waktu ini merupakan nilai “tb”.

Pertambahan temperatur yang terjadi harus diperhatikan, dimana dalam selang waktu 30” hingga 150” dalam pembakaran perubahan temperatur sangat cepat meningkat untuk mendapatkan 60% pembakaran total disebut “b” yang merupakan interpolasi dari nilai “tb”. Selanjutnya pengukuran  data perubahan dilakukan setiap 1 menit selama 5 menit sampai perubahan temperatur mencapai titik konstan. Titik temperatur adalah “tc” dan waktunya adalah “c”.

*                                     Pembongkaran

Lepas sabuk pemutar, mantel silinder dibuka untuk mengeluarkan bom silender dalam panci silinder. Lepas tekanan gas dan kepala bkm untuk mengeluarkan mangkok pembakaran dan ditimbang. Permukaan baja yang ada dalam silinder dicuci dengan aquadest dan airnya ditampung dengan gelas piala (50 ml), hasil tampungan ditetesi larutan metil orange sebanyak 3 tetes (terjadi perubahan warna menjadi merah muda) dan dititrasi dengan larutan Na2Co3 (3,84 gr/lt) yang terdapat pada buret 50 ml hingga warna merah muda menjadi merah pucat/bening dan pada saat itu dilihat skala buretnya mencapai berapa ml. Jumlah ml yang tercapai setara dengan jumlah kalor (1 ml = 1 kalori) sebagai koreksi asam (e1).

Kawat krom yang tidak terbakar diukur pada skala konversi kalor dari panjang kawat krom (1cm = 1 kal) sebagai koreksi dari sisa kawat yang tidak ikut terbakar (e2). Lakukan hal yang sama untuk pembakaran asam benzoat untuk peneraan kondisi alat bkm, sebagai nilai w.

Hasil pengujian dibuat perhitungan nilai kalor yang berupa panas pembakaran dengan rumus :

 

dimana :

a      = waktu pembakaran

b      = waktu untuk mencapai pembakaran total 60%

c      = waktu titik konstan dimana tidak terjadi perubahan temperatur

ta    = temperatur pada saat pembakaran

tc     = temperatur pada saat mencapai waktu c

r1    = temperatur rata-rata setiap menit sebelum terjadi pembakaran

r2    = temperatur rata-rata setiap menit setelah terjadi pembakaran

c1    = standar larutan alkali (dalam mm) pada titrasi asam

c2    = persentase sulfur dalam contoh uji

c3    = panjang kawat yang digunakan pada pembakaran

e1    = koreksi terhadap kalor untuk pembentukan asam nitrat

e2    = koreksi terhadap kalor untuk pembentukan asam sulfat

e3    = koreksi terhadap kalor pembakaran

m    = berat contoh uji

w    = equivalen kalorimetri pada pembakaran asam benzoat (kal/0C)

 

2.       Pengujian Sifat Kimia Arang Briket

a.       Kadar Abu

Prosedur pengujian kadar abu yaitu dengan mengambil cuplikan contoh uji dengan berat ± 2 gr sebagai berat awal (a), cuplikan dimasukkan kedalam cawan porselin , ditanurkan dengan suhu 6000C selam 4 jam, setelah asap berhenti berarti karbon hilang, tutup tanur dibuka selama 1 menit, cawan beserta isinya dimasukkan kedalam desikator selama 1 jam dan ditimbang sebagai berat c (berat cawan – berat abu).

Untuk menghitung kadar abu, digunakan rumus :

b.       Kadar Zat Mudah Menguap

Penentuan zat mudah menguap adalah contoh uji ± 2 gr setelah diukur berat awal (a), dimasukkan kedalam cawan porselin dan ditanurkan dengan suhu 9000C. Contoh uji didinginkan di dalam tanur, setelah dingin tidak ada cuplikan putih (abu), contoh uji dimasukkan kedalam desikator, setelah 1 jam ditimbang sebagai berat “d” (dikurangi berat cawan).

Untuk menghitung kadar zat mudah menguap dipergunakan rumus :

c.           Kadar Karbon Terikat

Fraksi karbon (c) dalam arang adalah karbon terikat, selain fraksi abu dan zat mudah menguap. Untuk menghitung kadar karbon terikat dipergunakan rumus :

 

3.             Analisis Data

Faktor yang diuji dalam penelitian ini adalah konsentrasi bahan perekat kanji 5%; 10%; dan 15% dengan menggunakan buah tusam dan anturmangan sebagai bahan baku.

Untuk analisa statistik dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu arah dengan satu faktor perekat dan dua bahan baku dengan 3 ulangan, pada tiap parameter contoh uji bentuk dan ukuran berdasarkan pada ASTM D1762 dan ASTM D 2015.

Bentuk umum rancangan acak langkap satu arah adalah sebagai berikut :

γij = µ + ι і  ∑ (ij)

 

dimana :

 γij     =  Nilai pengamatan pada perlakuan

 µ       =  Nilai rata-rata

 ι і      =  Pengaruh perlakuan ke – і

 ∑ (іј) = kessalahan percobaan pada perlakuan ke – і dan ulangan ke – ј (eksperimental error)

 

Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan dilakukan dengan sidik ragam/anova. Sedangkan untuk mengetahui harga rata-rata tiap perlakuan berbeda nyata yang selanjutnya diuji dengan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) atau HSD dengan bentuk umum :

      W = Qα (P : dbE) Sx

dimana :

W            = nilai pembanding BNJ

Q             = diperoleh dari perbandingan tabel F pada taraf 5% dan 1%

D             = jumlah perlakuan

dbE         = kesalahan baku yang dihitung dengan rumus

 

 

dimana :

KT(G)    = kuadrat tengah galat/eksperimental error

n             = ulangan

 

V.  KESIMPULAN DAN SARAN

 

1.             Kesimpulan

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

a.             Rerata nilai kadar air untuk arang briket buah tusam 8,7% dan arang briket buah anturmangan sebesar 8,97% lebih tinggi dibanding standar SNI, Jepang dan Inggris.

b.             Faktor iklim dan lokasi penelitian memberikan pengaruh dalam penentuan kadar air briket arang.

c.                    Rerata nilai berat jenis yang dihasilkan arang briket buah tusam sebesar 0,4 dan arang briket buah anturmangan sebesar 0,46.

d.             Rerata nilai kalor yang dihasilkan arang briket buah tusam sebesar 5489,5 kal/gr dan arang briket buah anturmangan sebesar 5597,7 kal/gr. Nilai kalor ini telah memenuhi standar SNI dan standar Jepang.

e.                    Rerata nilai kadar karbon terikat yang dihasilkan arang riket buah tusam sebesar 73,90% dan buah anturmangan sebesar 74,40 %,  telah memenuhi standar SNI dan Jepang.

f.                     Rerata nilai kadar zat mudah menguap yang dihasilkan arang briket buah tusam sebesar 22,90% dan briket buah anturmangan sebesar 21%.

g.             Rerata nilai kadar abu yang dihasilkan arang briket buah tusam sebesar 3,20% dan kadar abu arang briket buah anturmangan sebesar 2.60%.

h.             Konsentasi bahan perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kadar air, berat jenis dan nilai kalor arang briket buah tusam sedangkan untuk nilai kadar zat mudah menguap, kadar karbon terikat dan kadar abu memberikan pengaruh beda yang nyata.

i.                     Kualitas arang briket buah tusam dan anturmangan secara keseluruhan masuk dalam kategori cukup baik bila ditinjau dari segi nilai kalor, kadar zat mudah menguap, kadar karbon terikat dan kadar abu. Arang briket buah anturmangan menunjukkan kualitas tidak jauh berbeda dengan arang briket buah tusam.

j.                     Berdasar hasil keseluruhan penelitian ini bahwa pemanfaatan buah tusam dan anturmangan sangat baik jika dikembangkan oleh masyarakat, karena selain kualitas secara keseluruhan hamper memenuhi standar yang ada, biaya operasional dan proses pembuatan arang briket ini sangat mudah dan sederhana.

2.             Saran

a.             Pemanfaatan buah tusam dan anturmangan sebagai bahan baku arang briket perlu lebih di masyarakat lagi, karena selain berkualitas, teknologi pembuatannya sederhana dan murah dengan bahan baku banyak tersedia, maka akan menjadi salah satu solusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan.

b.             Untuk penigkatan kualitas arang briket agar sepenuhnya memenuhi standarisasi arang, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan, baik dalam segi teknologi berupa maksimalisasi dan efesiensi alat kempa arang juga teknologi pengarangan itu sendiri serta nilai ekonomi dan social masyarakat.

c.                    Upaya-upaya peningkatan dan penemuan sumber teknologi baru berbasiskan hasil hutan bukan kayu terutama limbah potensial agar dapat dilanjutkan untuk peningkatan pendapatan, masyarakat khususnya sekitar hutan untuk meminimalkan kerusakan kayu hutan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdurrahim       Martawijaya, et.al. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Balitbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.

Anonimous, 1979. Annual Book of ASTM Standarts. Standart Method for Chemical Analysis of Wood Charcoal D. 1762-84, American Society For Testing Materials. Philadelphia.

Anonimous,        2000. Teknologi Alternatif Pemanfaatan Limbah, Kelti Pengolahan kimia dan energi hasil hutan, Makalah Utama pada Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, 7 desember 2000. Bogor.

Ardhany F,  Sahwalita, Gunawan T.P, Nuryana, Marjono, Rangkuti D.P, 2003. Kajian Teknis Ekonomis Produk Briket Arang dari Serguk Gergaji dalam Skala Usaha. Laporan Hasil Penelitian. Kegiatan Pengkajian Penerapan Hasil Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera. Aek Nauli.

Artati A,       2000, Pengaruh Ukuran dan Komposisi Serbuk Gergaji Pinus merkusii et de Vries Dengan Tektona grandis L.f terhadap rendemendan Sifat Fisik kimia Arang Briket, Skripsi S1 Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Beglingger, E, 1957, Charcoal Manufactur and Use. Forest Product Laboratory. Forest Service, US Departement of Agriculture.

Djeni Hendra, 2000. Pembuatan Arang dan Briket Arang dari Serbuk Gergajian Kayu. Prosiding Lokakarya Hasil Hutan, Peningkatan Efisiensi Pemanfaatan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu. Puslit Hasil Hutan. Bogor.

Djatmiko B.,        S. Ketaren, S. Setyahartini, (1981). Arang Pengolahan dan Kegunaannya, Jurnal Teknologi Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

 

Fauzi, 2002. Petunjuk Teknis Pembuatan Arang Aktif. Puslitbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.

Gusmailina Gustan P, Komarayati S, 2002, Pedoman Pembuatan Arang Kompos. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Hartoyo dan Nurhayati, T. 1976. Rendamen Sifat Arang dari beberapa Jenis Kayu Indonesia. Diterjemahkan oleh Dr. Hardjono Sastrowidjojo. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Hartoyo, ando Y dan H. Roliadi, 1978. Percobaan Pembuatan Briket Arang dari Lima Jenis Kayu. Lap. No. 103. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Harlow W.M. et.al., 1991. Text Book of Dendrology. New Graw Hill International Editing. Forestry Serries.

Haygreen, J.G. Dan Jim L. Bowyer, 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Terjemahan Balitbang Kehutanan Indonesia.

Hidayat J., Hansen C.P., IFSP., 2001, Pinus Merkusii Jung et de Vries. Informasi Singkat Benih No. 12 Oktober 2001. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.